Sleepy

21.45.
Sebuah kuapan lolos dari mulutku. Ini masih terlalu dini, bagiku, untuk pergi ke alam mimpi. Biasanya hingga matahari terbit lagipun aku masih terjaga. Tapi entah kenapa hari ini mataku terasa berat. Seolah langit malam menimpa indera penglihatanku dengan gelap.
Air mata kantuk mengumpul, sesekali menetes dari ujung mataku yang lelah. Cairan yang mengaliri pipiku seperti memberi tahu bahwa sang mata sudah lelah membantuku menghadapi dunia.
Napasku mulai melambat. Ritmenya semakin tenang beraturan, begitu juga jantungku yang kini berdetak nyaman. Kutarik napasku dalam-dalam. Udara yang kutarik berefek seperti obat bius. Terasa melegakan meskipun di sisi lain terasa berat.
Jendela duniaku semakin menyempit. Pandanganku semakin buram dan tak terfokus. Kemudian mereka mulai menutup tanpa komando.
Sekujur tubuhku terasa rileks dan ringan, tak ada lagi berat yang membebani raga duniaku. Kemudian kesadaranku semakin menjauh, terbang membawaku ke dunia mimpi.

Selamat… malam….

 

***Sang Antagonis***

Acacia dan Chance

“Turun!”
“Tidak mau, bodoh!” Acacia menjulurkan lidahnya. Chance memutar bola matanya jengah.
“Dari sini aku bisa melihat celana dalammu, bodoh. Turun!” ejek Chance. Lelaki itu menyeringai kala melihat Acacia heboh merapikan roknya. Ck, sudah terlihat. Chance sendiri sampai deg-degan.
“Berhenti melihatku! Kukutuk kau nanti!”
Chance melebarkan senyumnya. Wajah favoritnya memerah malu. Semerah cela… astaga, apa yang ia pikirkan?
“Sudah turun. Tak perlu sembunyi. Wajahmu semakin jelek saja kalau menangis!”
Bungkam, gadis bermata ungu itu mengusap wajahnya. Terlihat kah? Ya, Acacia memang menangis kala orang tuanya menamparnya. Entah apa salahnya ia juga tak tahu. Tapi hatinya hancur, ia terluka. Mengingatnya membuat mata Acacia kembali berkabut.
Senyum menyebalkan Chance menghilang. Sinar mata jahilnya meredup. Gadisnya menjatuhkan kristal matanya lagi. Chance hanya mengulurkan tangannya ke atas. Tanpa senyum, namun matanya teduh. Hangat.
“Turunlah, aku ingin kau menangis di pelukanku!”

-12 Desember 2012 pukul 20:25-

***Sang Antagonis***

Angin

“Kau tahu apa itu angin?” Gadis itu merentangkan tangannya, menikmati angin pantai yang meniupkan helaian rambut hitamnya.

“Angin itu adalah udara yang bergerak. Angin selalu berhembus tanpa henti, tanpa kenal lelah dan tanpa pemberitahuan. Angin berhembus ke segala arah. Arah manapun yang mengajaknya untuk pergi maka kesanalah ia akan beranjak.

Ada kalanya angin membawa kesejukan, kadangkala angin malah datang membawa murka yang menghancurkan dunia. Ia seringkali datang dalam diam, namun kadang ia membisikan kedatangannya hingga orang menyadari keberadaannya.

Tak ada yang bisa memahami mengapa angin berhembus,alasan mengapa angin berubah arah atau mengapa angin tak bisa berada di satu tempat saja. Bahkan ada saatnya angin tak memahami alasannya berhembus.

Dulu aku pernah bertanya kepada angin: ‘Wahai angin! Mengapa kau tak tinggal? Mengapa kau selau pergi dan berhembus entah kemana?’

Angin menjawab: ‘Karena aku adalah udara yang kesepian. Aku… tak mengerti alasan kehadiranku sendiri.”

 

-13 April 2013 pukul 23:44-

***Sang Antagonis***

Just another draft

“Apa yang kau lakukan diatas sana?”

Kalau diingat-ingat, itu adalah kali pertamanya Luna berbicara pada Bimasakti. Meskipun berada dalam satu kelas yang sama selama dua tahun masa SMA, itu sama sekali tidak menjamin dua individu jadi mengenal satu sama lain. Selama ini, Bimasakti yang pendiam, tidak punya teman dan tanpa ekspresi hanyalah bagian dari latar belakang dari kehidupan Luna yang penuh dengan warna. Baginya, Bimasakti tidak ada bedanya dengan coretan-coretan grafiti yang hanya perlu di lihat sebentar sebelum dilupakan keberadaannya di perjalanan hidupnya yang panjang.

Namun saat mata cokelat muda sendu dalam balutan air mata itu balas menatapnya, gadis itu sadar ia tidak bisa mengalihkan matanya lagi. Hatinya sudah tercuri dalam sepuluh detik dalam diam yang menyesakkan itu. Entah ini rasa kasihan, sekedar rasa kemanusiannya saja atau malah lebih daripada itu, Luna juga tidak tahu. Tapi setidaknya ia mengerti satu hal yang pasti. Luna tidak akan pernah lagi bisa mengabaikan keberadaan Bimasakti, teman sebangkunya yang nyaris melompat dari atap gedung lantai lima.

 

PS: I DO wish to have time and motivation to make this story. I wish have enough willpower to do it ._. Anyway, don’t ask me when I will Finish this story. Even I don’t know when 😛
PSS: No copas okay?

 

 

-4 September 2014 pukul 1:59-

***Sang Antagonis***