Randi menyelusuri taman di belakang sekolah tempat ia bersembunyi beberapa minggu terakhir. Bunga-bunga dandelion perlahan berterbangan ketika langkah kaki Randi mengusik ketenangan bunga cantik tersebut. Tangan kanannya memetik bunga dandelion dan meniupnya ke udara. Mengantarkan bunga itu kepada angin yang membawanya terbang tinggi.
Sayup-sayup terdengar bunyi bel dari bangunan berlantai dua tempat Randi mengenyam pendidikannya selama dua setengah tahun ini. Randi menghempaskan tubuhnya ke rerumputan, menulikan telinganya.
Seharusnya saat ini ia duduk manis di kelas dan bersiap menghadapi ujian nasional yang dilaksanankan lima bulan. Titik akhir perjuangannya selama tiga tahun belakangan ini. Tapi disinilah ia sekarang. Di taman terabaikan di samping sekolahnya. Termenung dalam bisu sambil mengamati bunga dandelion dalam gengamannya. Mengamati bunga tersebut yang kini melayang bebas seolah mengejeknya yang diam terpaku.
Randi meluruskan kakinya yang baru sembuh dari patah tulang. Ia menatap bekas luka yang tertoreh di kakinya dengan perasaan miris. Ia memejamkan matanya berusaha menghindari sesak yang dideritanya akibat luka tersebut.
Seharusnya saat ini ia berlari. Seharusnya ia menggapai mimpinya. Tapi itu semua hanya seharusnya, dan segala sesuatu yang diawali kata seharusnya tidak pernah terjadi.
“Randi Agustinus. Kelas XII IPS 3. Atlet berprestasi SMA Bhayangkara. Kenapa kakak ada di sini?”
Randi menoleh dengan kaget. Alisnya berkerut ketika melihat seorang siswi berdiri dengan tangan berkacak pinggang. Seragam SMA dengan rok warna merah khas SMA Bhayangkara. Randi tak mengenal gadis itu. Ia yakin bahwa gadis berambut lurus itu pastilah adik kelasnya. Pandangan mata Randi turun dari kerah baju, tempat sebuah bagde OSIS tersemat, ke lengan baju gadis tak dikenal itu, ada pita merah yang dijahit manis di sana, tanda gadis itu adalah anggota OSIS sekaligus komisi kedisiplinan SMA Bhayangkara. Randi mengela napas bosan, hancur sudah paginya yang tenang.
“Siapa lo? Jangan bikin orang jantungan!”
“Ck, payah… Nama ketua OSIS sendiri nggak tau. Francisca Eriana!” seru Sisca kesal. Randi hanya menatap Sisca tidak perduli.
“Utusan Bu Anna?” Randi menyebutkan nama wali kelasnya dengan datar.
“Iya.”
Randi merebahkan kepalanya kembali ke rerumputan. Matanya kembali terpejam. Bu Anna kembali membuat kepalanya sakit.
“Kembali ke kelas sana. Semenit yang lalu bel bunyi.”
“Dari lima belas menit yang lalu malah,” ralat Sisca. Gadis itu berjongkok di samping Randi, “Tapi aku Komisi Disiplin. Aku diberi amanat dari Bu Anna untuk membawa kakak masuk ke kelas.”
Randi memiringkan tubuhnya menghindari tatapan Sisca dan memberi nasehat sok bijak, “Jangan melakukan hal sia-sia. Balik ke kelas sana.”
“Nggak bisa! Kakak harus masuk kelas! Kalau kakak nggak masuk aku nggak bisa masuk sekolah juga!” pekik Sisca. Randi mendengus kepada bunga dandelion dihadapannya dan mengatakan sesuatu yang membuat Sisca menganga dengan anggun.
“Tunggu sampai bel pulang bunyi baru gue mau masuk kelas.”
***
Pukul 06.45. Randi duduk di atas rerumputan di taman yang telah ia klaim sebagai miliknya. Sejak dulu tidak ada orang yang mau repot-repot menggunakan lahan di samping SMA Bhayangkara ini hingga sekarang hanya menjadi tempat bertumbuhnya bunga-bunga liar.
Dulu Randi sering berlari disini. Sampai kecelakaan itu mengubah hidupnya. Kakinya patah tiga bagian. Untuk berjalan ia membutuhkan pen yang di pasang pada pergelangan kakinya. Karena begitu mengerikannya kecelakaan yang nyaris membuat nyawanya melyang orang selalu menganggapnya mukzizat yang luar biasa. Namun larangan dokter untuk melakukan aktifitas olahraga berat dengan menggunakan kakinya adalah malapetaka baginya.
Sekali lagi sesak itu menghantam dadanya. Randi memejamkan matanya erat agar tidak ada luapan emosi yang bisa lolos dari matanya.. Dengan sembarangan, ia memetik bunga dandelion di sampingnya. Sekali lagi Randi meniupkan kegundahannya kepada bunga dandelion. Berharap masalahnya dapat terbang sejauh bunga yang berhamburan itu.
Matanya mengikuti hamburan bunga dandelion itu hingga hilang di angkasa. Ia menumpukan tubuhnya dengan kedua tangannya, menarik napas sekali lagi untuk menenangkan dadanya yang sesak.
“Kak Randiiiii!” Sisca berseru kencang sambil berlari mendekatinya. Seketika kerutan dalam menghiasi dahi Randi. Derap langkah gadis itu semakin jelas hingga akhirnya berhenti di hadapannya. Randi mendongak dengan pandangan sebal. Sisca tersenyum lebar, sengaja menantang Randi yang kesal akan kedatangannya. Randi mengedesis. Anak itu sangat merepotkan.
“Hari ini Kakak masuk kelas kan?” Pertanyaan itu lagi. Randi sangat bosan mendengar pertanyaan semacam itu. Baik dari Sisca, orang tuanya bahkan guru-gurunya.
“Nggak. Masuk kelas sana. Lima belas menit lagi bel.”
“Bel berbunyi sepuluh menit lagi,” lagi-lagi Sisca meralat ucapan Randi. Randi berdecak tidak senang. Malas menghadapinya, ia memutuskan untuk menganggap Sisca sebagai arca hidup.
“Kak,” panggil Sisca sambil mencolek-colek tangan Randi ketika gadis itu memutuskan untuk duduk di samping kiri Randi.
“Apaan sih?”
“Kalau hari ini kakak nggak mau masuk, kita belajar di sini aja ya?” ajakan Sisca membuat Randi mengernyitkan dahinya.
“Kalau emang segitu niatnya belajar, masuk ke sekolah sana. Nanti gue yang tanggung jawab kalau Bu Anna ngamuk gara-gara lo udah masuk sebelum nyelesaiin masalah gue.”
Sisca menggeleng cepat, “Nggak apa-apa kok. Bu Anna udah ngijinin aku absen. Lagipula guru-guru juga udah bosen ngeliat aku. Datang paling awal, pulang paling terakhir.”
“Kerajinan sih lo,” dengus Randi, “makanya pengalaman bolos lo kali ini nggak bisa dinikmati dengan baik tanpa belajar. Anak baik kayak lo nggak mungkin mau bolos. Sekolah sana!”
Kali ini Randi mengusir Sisca dengan tangannya. Namun bukan Sisca namanya jika ia menyerah. Sisca dengan sigap langsung menarik tangan RandI. sebelum lelaki itu bisa kabur lagi, Sisca menyeringai kejam dan mengeluarkan buku pelajaran yang membuat Randi ingin menjerit habis-habisan.
Tiga jam kemudian Sisca habiskan untuk memulai penyiksaan berkedok pelajaran sekolah kepada si bodoh Randi. Matematika.
***
“Randi! Ayo masuk sekolah!” Randi memandang Sisca kesal. Ini hari ketiga Sisca menemaninya membolos kelas. Ia menjitak kepala Sisca yang katanya pintar itu.
“Randi Lo bilang? Sadar umur! Baru kelas XI aja udah belagu sama kakak kelasnya!” Sisca menutup telinganya dari teriakan khas Randi.
“Emang orang yang nggak masuk sekolah bisa dianggap kakak kelas ya? Lagipula aku rasa kamu nggak perlu dihormati,” sahut Sisca membuat telinga Randi gatal. Randi membanting tasnya kesal.
“Bisa nggak cari kerjaan lain? Jangan nguntit orang mulu. Dasar kurang kerjaan,” sungut Randi sambil merebahkan tubuhnya di rerumputan, mencari posisi yang enak untuk tidur. Bunga-bunga dandelion yang sedang bermekaran berterbangan seolah menghidari amarah Randi. Sisca duduk di samping Randi sambil menggerutu. Ia mengambil bunga kesayangan Randi dan meniup-niupnya acuh. Ia menatap kakak kelasnya dengan pandangan sinis.
“Memangnya kerjaan kakak disini apa? Cuma bolos juga!” sindir Sisca tepat sasaran. Randi langsung menatap mata Sisca tajam menyuruhnya diam. Tapi Sisca tidak mau kalah.
“Apa sih enaknya bolos? Emang kakak dapat apa dari bolos?” cecar Sisca. Pertanyaan retoris karena tak lama kemudian Sisca langusung menjawab, “Nggak dapat apa-apa kan? Masuk sekolah aja kalau begitu!”
Randi berdecak kesal. Ia membuang tatapannya ke langit sebelum berkata, “Gue ngerasa konyol masuk sekolah.”
“Kenapa?”
“Gue nggak pernah belajar apapun kecuali berlari. Sesuatu yang nggak mungkin gue wujudkan dengan kaki gue ini.”
Suasana hening sejenak. Ketidakmampuannya untuk menjadi seorang pelari telah mematahkan semangat hidup Randi. Sekarang ia hanya bisa merasakan kekosongan yang ditinggalkan impian di hatinya. Perlahan Randi mengambil bunga dandelion dan membiarkan mereka terbang ke angkasa. Mereka mengamati langit yang kini dihiasi oleh hamburan bunga-bunga yang berlarian mencari tempat tinggal baru.
“Tapi aku rasa nggak ada salahnya kakak coba ulang lagi dari awal. Demi orang tua kakak. Demi diri kakak sendiri. Kakak sudah terlalu lama diam di tempat. Mungkin kakak bisa mengambil jurusan komputer untuk kuliah nantinya. Aku dengar kakak jago komputer.”
Randi menyunggingkan senyum terpaksa untuk menghargai usaha Sisca yang menghiburnya. Ia dapat merasakan kebenaran dalam perkataan Sisca. Orang tuanya sudah putus asa menghadapi kekeraskepalaan Randi. Ia sendiri sudah terlalu lama terpuruk. Helaan napas berat Randi mengisi kekosongan suara mereka.
“Patut dicoba,” ucap Randi sambil mengambil tasnya yang tergeletak asal di rumput. “Tapi asal lo tau aja, mimpi itu bukan sesuatu yang bisa lo rem mendadak dan ganti arah kayak naik sepeda motor.”
***
Randi mencoba menstabilkan detak jantungnya. Perlahan-lahan menuju kelasnya sambil menghindari tatapan murid-murid SMA Bhayangkara yang sedang beristirahat. Randi membuang pandangannya kemana saja asalkan bukan ke pintu kelasnya. Ia berdiri di depan pintu XII IPS 3. Kelas yang sudah lama ia tinggalkan.
Semua keberanian yang susah payah ia kumpulkan menguap ketika melihat Evan keluar dari kelas. Musuh abadinya dalam setiap pemilihan wakil lomba yang selalu dimenangkan oleh Randi.
“Woow.. Liat siapa yang datang?” Suara menggelegar Evan memacu rasa ingin tau makin banyak orang.
“Randi Agustinus! Welcome bro! Udah lama nggak ngeliat lo di sini. Gua kira lo udah mati ketabrak mobil.” Evan bertepuk tangan dengan heboh. Oksigen di sekitar Randi terasa menipis. Buku-buku jarinya memutih ketika ia menahan emosinya yang sudah sampai ke ubun-ubun dengan mengepalkan tangannya kuat-kuat.
“Oh, ya. Ran, makasih ya. Tiga bulan yang lalu waktu lo terkapar di rumah sakit lomba yang seharusnya lo ikutin dialihkan ke gue. Kalau bukan gara-gara lo bego nabrakin diri lo ke mobil, ini semua nggak akan terjadi. Makasih bro,” ujar Evan sambil menepuk-nepuk bahu Randi. “Sayang gue nggak bisa ngajakin jogging bareng lagi buat latihan lomba tingkat nasional nanti. Kaki lo cacat sih.”
Randi langsung menuangkan semua amarahnya dalam kepalan tinjunya ke muka Evan secara bertubi-tubi. Beberapa murid perempuan memekik ketakutan. Hantaman demi hantaman ia lancarkan. Randi mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menghajar mulut Evan yang berani mengejek tentang ketidakmampuannya menjadi pelari. Tak ada yang berani membantu Evan yang kini babak belur.Sayup-sayup ia mendengar suara Bu Anna dan Sisca yang berusaha melerai mereka. Randi mencengkram kerah Evan.
“Gua rasa lo nggak perlu berbangga hati dapat bekas tempat gua, Van. Tapi makasih lo gua terima,” kemudian ia memukul wajah Evan lagi, “dan ini kembaliannya.”
***
“Kak Randi!” Sisca memekik panik begitu ia berhasil menemukan Randi yang sedang menerbangkan bunga dandelionnya ke udara. Setelah Randi ditindak oleh kepala sekolah akibat kejadian tadi pagi, ia langsung menghilang tanpa jejak. Randi dihukum dengan skors selama tiga hari.
Sisca terhenyak memikirkan semua kejadian yang bermula dari keinginnya membuat Randi masuk sekolah. Merasa menyesal sekaligus khawatir pada Randi. Dan kini orang yang membuaktnya khawatir setengah mati sekarang sedang memandang kosong ke arah langit yang kemerahan pertanda sore akan mulai usai digantikan oleh kegelapan malam. Sisca langsung duduk di samping Randi yang menghiraukannya. Dari jarak sedekat ini ia bisa melihat rasa sakit Randi. Bukan sakit akibat pukulan Evan. Tetapi, kepahitan akan mimpi yang tidak tergapai yang menorehkan luka bernanah di hatinya. Randi menepis tangan Sisca yang bergerak untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Randi.
“Puas lo sekarang udah maksa gue masuk kelas?”
Sisca menelan pil pahit mendengar nada suara Randi yang menyudutkannya. Sedikit banyak, kejadian hari ini juga kesalahan Sisca.
“Aku… aku nggak tau jadinya bakalan begini,” aku Sisca tanpa bisa menahan air mata penyesalannya.
“Buat apa lo nangis? Yang sakit hati kan gue. Yang berdarah juga gue. Gue juga yang udah dihina-hina dan dipukul tadi. Ini sama sekali nggak ada hubungannya sama lo,” tukas Randi cepat.
“Ta… tapi seharusnya aku nggak maksa..”
“Udahlah, nggak perlu dibahas. Udah kejadian. Nggak bisa ngomong apapun lagi kan?” ucap Randi melembut, ”Gue benci melihat orang cengeng! Kalau emang lo mau nangis, jangan nangis di depan gue.”
“Aku.. aku benar-benar minta maaf..” isaknya. Mulutnya terbuka ingin mengatakan maaf namun yang keluar dari sana hanya isakan penyesalan. Ia hanya mampu meluapkan rasa bersalahnya dalam butiran air matanya.
Randi menghapus air matanya gelagapan. Sulit baginya mengahadapi Sisca yang sedang menangis. Lebih baik mendengarnya berceloteh sampai bosan daripada Sisca yang sekarang. Setelah menggaruk-garuk kepalanya kebingungan akhirnya Randi menyandarkan kepala Sisca di pundaknya. Membiarkan pundaknya basah oleh air mata Sisca.
“Payah, seharusnya sebagai seorang ketua OSIS lo punya saran. Penyemangat kek, apa kek. Gue lagi nangis lo malah nangis. Gue mimpinya lagi hancur berantakan nih. Hibur dong!”
Sisca berusaha terkekeh diantara isakkannya. Wajah Randi memerah karena malu, ia memang tidak berbakat dalam menghibur orang.
Randi sendiri berusaha menghapus air matanya. Menangis adalah pilihan terakhirnya. Malu rasanya membiarkan orang yang baru ia kenal selama beberapa hari melihat kelemahannya. Apalagi tentang hal secetek, bagi orang lain, seperti tadi. Sebenarnya, Randi ingin merelakan impiannya sebagai pelari professional yang ia perjuangkan sejak berumur 6 tahun. Melupakan kenyataan bahwa 11 tahun kemudian, saat umutnya 17 tahun, impian yang sudah hampir ia raih dalam genggamannya lepas begitu saja.
“Kak,” Sisca memanggilnya dengan suara serak.
“Apa?”
“Gimana perasaan kakak sekarang?”
“Yaah… jujur aja gua ngerasa kecewa karena apa yang di bilang Evan ada benernya,” Randi tersenyum kecut menyadari kekurangannya, “Gue emang bego. Kalau gue bisa muter waktu pengen rasanya gue balik ke enam bulan lalu. Nyegah anak kecil itu nyebrang jalan sebelum lampu merah nyala. Nyegah diri gue sendiri banting motor sampai nabrak mobil. Nyegah semuanya. Tapi nggak mungkin kan?” Randi tertawa miris mendengar kebenaran kata-katanya sendiri. Waktu memang tidak akan pernah bisa berputar kembali.
“Sebenarnya, gue nggak pernah menyesal banting motor gue menghindari anak kecil itu. Hidup anak itu lebih berharga daripada kaki gue. Lebih baik gue yang ketabrak daripada jadi pembunuh,” tutur Randi. Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Tapi waktu gue tau kaki gue nggak bisa lari lagi rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari diri gue. Dan itu rasanya sakit,” lanjutnya. Sisca mengangkat kepalanya dari pundak Randi. Membiarkan keheningan melingkupi mereka berdua.
Semilir angin menerbangkan bunga-bunga dandelion di sekitar mereka. Meninggi ke langit yang kemerahan. Mengantarkan matahari kembali ke tempat peraduannya. Meninggalkan mereka berdua yang hanya diam tanpa kata.
“Lo tau nggak Sis, alasan gue selalu di sini?” tanya Randi tiba-tiba. Sisca menggeleng lemah sembari menatap mata Randi dalam. “Gue iri. Gue iri sama bunga dandelion yang ada di sini. Mereka bisa pergi dari satu tempat ke tempat yang lain. Selalu mampu terbang tinggi, menjelajah luas menentang angin, mencari tempat untuk mereka sendiri. Nggak kayak gue.
“Selama ini gue selalu percaya, mimpi gue jadi pelari itu nyata. Bahkan dulu gue bangga bisa lari lebih cepat dan bebas daripada bunga dandelion yang ada di sini. Lihat gue sekarang? Pecundang!” Randi mencabut bunga dandelion dan meleparkannya ke angkasa. Ucapan terakhir Randi seolah bergema mengisi kealphaan suara mereka. Perlahan bunga tersebut memecah dan melayang-layang mencari tempat baru untuk bernaung.
“Aku rasa… aku rasa kalau memang bangun dari mimpi itu menyakitkan, kita hanya perlu membuat mimpi yang baru. Memimpikan mimpi yang lebih indah dan nyata dari sebelumnya.” Randi menoleh.
“Kalau kakak benar-benar iri sama bunga dandelion yang ada di sini, seharusnya kakak malu. Saat ini mereka sedang terbang meninggalkan masa lalunya untuk menghadapi kehidupan yang baru. Berbeda dengan kita, mereka hanya terbang mengikuti arah angin. Namun kemana tujuan kita, kapan kita akan melangkah, kita semua yang menjadi sutradaranya. Mereka saja dapat terbang tinggi, mengejar cita-citanya untuk mendapat tempat yang lebih baik lagi. Bahkan meskipun ia terjatuh di tempat yang tidak mengizinkannya untuk bertumbuh ia akan terbang lagi. Hingga mencapai tempat yang ia tuju,” ia berhenti sejenak.
“Apalagi kita sebagai manusia?”
Sisca memetik bunga dandelion dan meniupkannya. Mereka menyebar, menghias langit.
“Meskipun kelihatan lemah, ia sebenarnya sangat kuat. Ia bisa terbang sejauh mungkin untuk hidup. Mencari cara agar keinginan mereka untuk tumbuh tercapai.”
Sisca tersenyum lemah. Randi memandangnya dari sela-sela air matanya yang kembali turun tanpa permisi. Sisca berdiri diantara dia dan bunga dandelion. Sebelah tangannya terulur.
“Semuanya terserah kakak. Mau duduk disini sambil menatap iri terhadap bunga yang terbang bebas atau mulai berlari mengejar impian yang baru.”
Randi berusaha tersenyum mendengar kata-kata bijak yang keluar dari mulut Sisca. Mencoba meresapi makna yang ingin disampaikan Sisca padanya. Mimpinya untuk menjadi pelari professional telah pupus begitu saja, namun hidupnya masih terus berlanjut. Lama kemudian tangannya terulur menerima ajakan Sisca. Saat ini, apa keinginannya dan apa yang akan terjadi nanti ia tidak tau. Namun perkataan Sisca membuatnya sadar.
Bahwa ia masih sanggup berlari. Berlari menyongsong mimpinya yang baru.
* **
Randi memejamkan matanya. Mengumpulkan semua sisa keberanian yang ia miliki saat ini. Sebuah tangan menggenggam tangannya untuk menguatkan. Tangan Sisca terasa menghangatkan. Sisca memberikan dorongan tanpa kata. Beangsur-angsur, Sisca mundur kebelakang, memberikan ruang untuk Randi berpikir. Randi menatap benda yang ditinggalkan Sisca di tangannya. Bunga dandelion.
Perlahan tapi pasti Randi menarik kenop pintu di depannya. Pintu kelas XII IPS 3. Wajah Evan yang babak belur adalah pemandangan pertama yang ia lihat setelah 6 bulan menghilang dari kelas ini. Evan melemparkan pandangan meremehkan kepada Randi setelah sama-sama di skorsing selama tiga hari.
Randi mengangkat kepalanya, menghalau keinginannya untuk lari dari hadapan Bu Anna yang telah berkaca-kaca. Bu Anna tersenyum bahagia, setelah enam bulan masa-masa kelam, akhirnya anak didik kesayangannya menginjakkan kaki ke kelas asuhannya. Randi berdiri di depan pintu. Dengan senyum yang telah lama menghilang tercetak di bibirnya. Seolah tanpa beban.
“Permisi bu, maaf saya terlambat. Boleh saya mengikuti kelas ibu?” Pandangan Randi yang biasanya kosong kini telah di isi dengan tekad untuk bangkit. Bu Anna menghampiri Randi dan menggengam tangannya penuh keharuan.
“Boleh. Ayo duduk dulu. Usahakan lain kali tepat waktu” ucap Bu Anna dengan omelan khasnya sambil menyeka air matanya. Hatinya lega karena telah menemukan kembali salah satu anak didiknya yang telah menghilang kini kembali berlari pulang. Sekarang anak itu ada di hadapannya dan telah mengambil langkah awal untuk kembali berlari.
Dengan langkah tegap Randi berjalan dan duduk di pojok kelas dekat jendela. Bu Anna melanjutkan pelajaran sembari menyusut Kristal matanya yang jatuh tak tertahan. Randi merasakan perasaan kosong yang di deritanya selama ini memudar. Di gantikan oleh keinginan untuk maju dan tekad untuk berusaha.
Sosok Sisca yang berada di depan jendela kelasnya dengan mata berkaca-kaca menarik perhatian Randi. Bibir mereka melengkungkan sebuah senyuman. Sisca membiarkan setetes airmatanya turun sebelum ia menghilang, kembali ke kelasnya setelah memastikan bahwa Randi tidak akan lari lagi. Randi tersenyum kecil meletakkan tangannya diatas meja. Bersiap untuk memulai perjalanan yang baru.
Matanya bergerak turun ke arah benda yang ia gengam saat ini. Ia membuka jemarinya dan mendapati bunga dandelionnya di sana. Ia menarik napas dan menghembuskannya. Memberikan kesempatan pada bunga dandelion itu untuk terbang bebas melewati jendela kelasnya. Randi tersenyum. Akhirnya semua pergumulannya dengan dirinya sendiri telah usai.
Memang, saat ini ia masih belum tau tentang kemana arah ia akan berlari. Tapi tak apa, ia akan mulai mengambil langkah kecil sebelum berlari bebas.
-Someday in 2012-
Ini adalah tulisan yang gagal membuahkan hasil dalam lomba 😛
***Sang Antagonis***